Ali Moertopo, mengutip ahli ilmu politik Dr. Alfian, merupakan tokoh militer yang berperan sangat penting di dalam perumusan, pembentukan, dan pemantapan kerangka format politik Orde Baru.
David Jenkins dalam bukunya Soeharto dan Barisan Jenderal Orba menempatkannya sebagai salah satu jenderal terpenting di dalam “kelompok inti” di sekitar Soeharto.
Semasa muda, Mangkyo, nama kecil Ali Moertopo, dikenal sebagai sosok yang religius tapi pandai bergaul. Sehari-hari dia menghabiskan waktunya di masjid di dekat rumah. Kalau tak ada acara lain, dia membaca Al-Quran atau buku-buku agama dan berdiskusi dengan teman-temannya di sana. Bukan hanya membaca tulisan Arab, bahkan dia pun mahir menulis Arab.
Baru pada awal Proklamasi, ia tergerak untuk ikut perjuangan. Dimulai dengan masuk Hizbullah, mengikuti teman-teman sekampung. Kemudian ia memasuki AMRI (Angkatan Muda Republik Indonesia).
Hizbullah adalah kelompok milisi Muslim nasionalis yang dibentuk Masyumi pada Desember 1944. Kekuatan gabungan Tentara Keamanan Rakyat (TKR), Hizbullah, dan Sabilillah ikut berperan dalam mematahkan kelompok komunis Tiga Daerah di Pekalongan.
Keberadaan Ali di Hizbullah penuh dengan rumor. Jenderal Soemitro, sebagaimana dituturkan kepada Heru Cahyono dalam buku Pangkopkamtib Soemitro dan Peristiwa 15 Januari ‘74, mengutip perkataan Kasman Singodimedjo, tokoh Islam yang pada zaman Soekarno aktif di militer, menyebut bahwa bahwa Ali adalah bekas intel tentara Angkatan Laut Belanda (Netherland Information Service) yang ditangkap Hizbullah di daerah Tegal, Jawa Tengah. Saat ditangkap, Ali nyaris dibunuh. Dia kemudian dijadikan agen ganda oleh Hizbullah.
Ditengarai, di Hizbullah inilah Ali mengenal beberapa tokoh yang kelak menjadi pemimpin Darul Islam (DI), seperti Amir Fatah dan Adah Djaelani Tirtapradja. Hubungan ini terjalin terus hingga masa Orde Baru.
Kata beberapa teman dekatnya, “dasar agama Ali cukup kuat, sebagaimana layaknya orang Pekalongan yang hidup di lingkungan santri,” ujar Jenderal Soemitro, mantan Pangkopkamtib yang kelak jadi rival Ali dalam Peristiwa Malari.
Moertopo kemudian bergabung dengan Badan Keamanan Rakyat, cikal bakal Tentara Nasional Indonesia (TNI), di Pekalongan, yang kemudian berkembang jadi Resimen 17 Divisi III.
Ali Moertopo, sebelumnya adalah anggota staf brigade Ahmad Yani dan seorang veteran perjuangan gerilya pada masa revolusi, ia menjadi komandan kompi di Bn 431.
Ali Moertopo mengalami lesatan karier militer ketika bertugas di Divisi Diponegoro, sebagai Komandan Kompi Batalyon 431 Banteng Raiders. Di sinilah dia menjalin hubungan baik dengan Soeharto.

Hubungan Ali Moertopo dan Soeharto
Sejak jadi komandan, Soeharto menggalang dana bagi kesejahteraan pasukannya dan pembangunan daerah. Programnya menarik banyak perwira muda, termasuk Ali Moertopo yang kemudian jadi asisten V (teritorial) dalam staf Soeharto.
Pada 1959, Ali dikirim ke Sumatera untuk menghadapi Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI). Dia menjabat sebagai Kepala Staf Resimen Tempur (RTP) II. Setelah selesai, Ali kembali ke Jawa Tengah untuk melanjutkan tugasnya di Kodam Diponegoro, yang kali ini dipimpin Pranoto Reksosamodra karena Soeharto dicopot dari jabatannya kala itu.
Soeharto kemudian ditugaskan belajar di Sekolah Staff Komando Angkatan Darat (SSKAD) di Bandung. Pada 1961, Ali akhirnya bergabung kembali dengan Soeharto di Jakarta, yang membentuk dan jadi panglima satuan tempur Tjadangan Umum Angkatan Darat (Tjaduad) –kemudian dikenal dengan nama Kostrad. Ali menjabat sebagai Asisten Intel Komando Tempur Lintas Udara (Kopur) II.
Ali kemudian ikut aktif dalam sejumlah operasi militer. Hubungannya dengan Soeharto terus terjalin. Kelak, ketika Soeharto jadi presiden, Ali jadi orang kepercayaannya.
Menjelang akhir era Orde Lama, muncul dan berkembang gerakan mahasiswa anti komunis yang mengkritik pemerintahan Soekarno. Disebut-sebut bahwa tentara berada di balik gerakan mahasiswa anti-Soekarno. Ali Moertopo menjadi agen yang berperan dalam melindungi dan memfasilitasi gerakan mahasiswa tersebut.
Dukungan Kostrad terhadap gerakan mahasiswa anti-Soekarno sudah jadi rahasia umum saat itu. Ketika eskalasi konflik antara kelompok pendukung Soekarno dan anti-Soekarno meningkat, Kostrad memang memberikan perlindungan kepada para aktivis mahasiswa anti-Soekarno.
Kantor Ali di markas Kopur II Kostrad, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, jadi tempat berlindung para pemimpin gerakan mahasiswa anti-Soekarno. Pakar militer Salim Said membenarkan hal tersebut. Menurut Salim, Soeharto yang memerintahkan Panglima Kopur II Kostrad Kemal Idris untuk melindungi mereka.
Jusuf Wanandi atau Liem Bian Kie, dalam bukunya Shades of Grey, mengatakan bahwa adanya ancaman penangkapan dan pembunuhan dari Resimen Tjakrabirawa terhadap pemimpin mahasiswa, hal itu mendorong mereka mencari perlindungan, salah satunya kepada Kostrad via Ali Moertopo.
“Kami terpaksa tidur di tempat yang berbeda setiap malam. Sebagian dari kami ada yang berlindung di kantor Ali Moertopo,” kata anggota pendiri Centre for Strategic and International Studies (CSIS) itu. Pada 1971, bersama Soedjono Hoemardani, Ali Moertopo ikut menyokong berdirinya lembaga think-tank tersebut.
Harry Tjan Silalahi, yang saat itu menjabat Sekjen Partai Katolik, mengisahkan kalau markas Kopur II di Kebon Sirih dijadikan tempat berlindung para aktivis KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia) yang lebih muda seperti Fahmi Idris, Sofjan Wanandi (Liem Bian Koen, adik Liem Bian Kie), dan Cosmas Batubara.
Para pemimpin gerakan mahasiswa merasa keselamatan mereka terancam seiring santernya desas-desus ancaman pembunuhan dan penangkapan oleh pasukan Tjakrabirawa. Setelah pembubaran KAMI pada 25 Februari 1966, para pemimpin mahasiswa malah memusatkan kegiatan mereka di markas Kopur II Kebon Sirih.
Buku mengenang Ali Moertopo yang disusun oleh CSIS, Ali Moertopo: 1924-1984, mengungkapkan lebih jauh peran Ali di dalam mendukung gerakan mahasiswa anti-Soekarno.
Ali disebut-sebut berjasa mengamankan kampus Universitas Indonesia Salemba. Kesediaan Kostrad untuk mengirimkan tank-tank guna menjaga UI dari kemungkinan serangan unsur-unsur Orde Lama juga karena jasa Ali Moertopo. Dalam buku yang sama juga mengungkap peran Ali di dalam menempatkan tokoh-tokoh KAMI pada beberapa posisi penting di pemerintahan Orde Baru.
Setelah Soekarno Lengser
Saat Supersemar 1966 diteken oleh Soekarno, yang menandai kemenangan politik gerakan mahasiswa dan tentara pro-Soeharto, Ali Moertopo yang menjemput para pemimpin mahasiswa di Kebon Sirih untuk bersama-sama menyaksikan surat yang baru saja dibawa oleh M. Jusuf, Amir Machmud, dan Basuki Rachmat itu.
Hubungan Ali dengan para aktivis itu terus bertahan hingga Orde Baru. Persahabatan Ali dengan Harry dan Liem Bian Kie atau Jusuf Wanandi misalnya, bermuara pada pendirian CSIS. Ide itu datang dari Harry Chan Silalahi dan Daoed Joesoef, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan yang kala itu masih mahasiswa doktoral di Universitas Sorbonne, Prancis.
“Pak Ali dan Pak Soedjono kemudian kita minta untuk jadi dewan pendiri,” kata Harry.
Hubungan Ali Moertopo dengan mahasiswa, lebih luas lagi, hubungan tentara-mahasiswa dalam periode peralihan kekuasaan dari Soekarno ke Soeharto dilandasi saling membutuhkan dari kedua belah pihak.
Tentara saat itu butuh mahasiswa untuk melawan Soekarno. Karena mereka tidak mau secara langsung melawan Soekarno. Hal ini terjadi karena ketegangan antara TNI-AD dan komunis telah memuncak dan Soekarno, sebagaimana pernyataan Salim Said, tampak begitu berpihak kepada PKI lewat ideologi Nasakom.
(Bersambung)…
Discussion about this post