Kalender akan memberitahu Anda bahwa pemilihan presiden Indonesia akan diadakan pada bulan Februari 2024, tapi jangan salah, negara demokrasi terbesar di Asia Tenggara ini kini sudah berada dalam musim pemilu. Koalisi partai-partai sedang berusaha untuk merebut tiket pendaftaran calon presiden sebelum batas waktu pada November 2023. Didukung oleh peringkat survey persetujuan masyarakat yang kuat, Presiden Joko Widodo ingin agar warisan kebijakannya diteruskan oleh presiden penerusnya.
Indonesia telah menikmati keberhasilannya pada tahun 2022, dengan pemulihan ekonomi yang lebih baik dari yang diharapkan dari pandemi, dimana Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan PDB tahunan Indonesia sebesar 5,2 persen – ditopang juga dengan kemenangan diplomatik dalam kepemimpinannya presidensi Indonesia di G20. KTT para pemimpin G20 di Bali pada bulan November lalu menutup pertemuan G20 yang hasilnya jauh melebihi ekspektasi pada tahun di mana anggotanya terpecah dalam masalah-masalah besar, terutama terkait invasi Rusia ke Ukraina dan juga pandemi.
Namun, gelembung tersebut pecah oleh penerapan dan pengesahan KUHP baru yang regresif, yang dianggap sebagai tonggak sejarah terbaru dalam jalan menuju iliberalisasi politik Indonesia yang mendapat momentumnya pada masa pemerintahan Jokowi. KUHP ini memenuhi berbagai agenda konservatif: keinginan kaum Islam untuk mengawasi moral dan obsesi para birokrat dan politisi nasionalis untuk melindungi “martabat” negara dan pejabatnya.
Meskipun ada kemunduran yang terjadi, dinamika politik elektoral masih hidup dan berkembang, meskipun beberapa pendukung Presiden Jokowi masih berupaya untuk mengubah konstitusi untuk memperpanjang masa jabatannya hingga 2024. Jajak pendapat menunjukkan konsolidasi dukungan di sekitar ‘tiga besar’ calon potensial: Gubernur Jawa Tengah yang merupakan favorit Jokowi, Ganjar Pranowo, yang memiliki afiliasi dengan partai PDIP; mantan gubernur Jakarta dan menteri pendidikan Anies Baswedan; dan Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, yang mempertaruhkan relasi baiknya dengan pihak oposisi saat bergabung dengan kabinet Jokowi setelah kalah dari Jokowi pada pemilu 2019.
Tidak ada dari mereka yang menandai kepemimpinannya dengan perubahan-perubahan kebijakan yang radikal – bahkan Anies, meskipun berstatus sebagai kandidat oposisi secara de facto, oa terkesan berhati-hati untuk tidak terlalu keras dalam memainkan kartu anti-pemerintah. Semua hal ini akan tetap berpegang pada formula yang membuat Jokowi populer: merayu investasi asing dalam kerangka kerja ekonomi nasionalis yang luas; melakukan lindung nilai antara Tiongkok, Amerika Serikat, dan Jepang dalam hal geopolitik; dan membangun jaring pengaman sosial bagi masyarakat kelas bawah.
Pembalikan tren politik yang regresif setelah Jokowi selesai menjabat tampaknya tidak mungkin terjadi. Kecuali ada perubahan konstitusional yang radikal sebelum tahun 2024, Indonesia akan tetap bergerak dalam kerangka kebijakan yang sudah ditetapkan selama masa pemerintahan Jokowi.
Liam Gammon adalah seorang Research Fellow di Biro Penelitian Ekonomi Asia Timur di The Australian National University, Australia.