Meski sekarang banyak sekali bertebaran tambang emas ilegal yang secara ekonomi lebih besar mengalir ke luar Aceh. Namun ternyata kegiatan tambang emas di Aceh punya akar sejarah dan tradisi dalam budaya Aceh masa lampau.
Oleh: Zulfadli Kawom, Budayawan.
Di masa silam, tambang emas di Aceh diusahakan langsung oleh kesultanan. Sejumlah catatan menyebutkan, tambang emas di Aceh pernah dilakukan di wilayah kekuasaan Kerajaan Peureulak, Samudera Pasai, dan Aceh Darussalam.
Emas urai merupakan salah satu komoditas sejumlah kerajaan kecil di Aceh. Penambangan itu dilakukan di sepanjang aliran sungai.
Keahlian menambang emas didapatkan oleh orang Aceh setelah belajar dari lancarnya perdagangan dari Timur ke Barat. Dari Barat ada bangsa Persia, Yunani (Gersik/Greek), dan Surya (Arab). Dari Timur ada bangsa Tionghoa dan Pegu, yang memegang peranan penting dalam perdagangan emas urai dan sarang burung.
Para sarjana Yunani (Romawi) dan Persia banyak yang ahli dalam ilmu pertambangan emas. Merekalah yang mengajar anak-anak negeri menginang emas dari sungai yang mengandung emas.
H.M. Zainuddin dalam bukunya Tarich Atjeh dan Nusantara (1961) yang diterbitkan oleh Pustaka Iskandar Muda, Medan, menulis bahwa Peureulak merupakan negeri (di Aceh saat ini) yang sungai/alurnya memiliki emas, disebutkan oleh orang Persia.
Lokasi tempat penambangan emas di masa itu, dikenal dengan Alue Meuh (Alur Mas), yang letaknya tidak jauh dari bekas istana Raja Peureulak. Daerah tersebut sekarang ini dikenal dengan Paya Meuligoe. Di sekitar istana Raja Peureulak juga ditemukan banyak telaga minyak tanah.
Akan tetapi sangat sedikit catatan tentang Kerajaan Peureulak. Secara samar-samar sudah diketahui sejak Abad ke-XI. Namun baru terang benderang dalam tahun 1292 setelah Marcopolo datang ke sana.
Tambang emas di Aceh juga dicatat dalam sejarah pernah ada di Pase, setelah didirikannya Kerajaan Samudera Pasai. Tambang emas dibangun di hulu Sungai Pasai, di atas Kampung Pirak (Sekarang Kecamatan Pirak, Aceh Utara). Tambang emas tersebut dikerjakan oleh sarjana dari Persia.
Pengolahan Emas dengan Bioteknologi
Dalam sebuah legenda disebutkan bahwa pada suatu hari Meurah Silu memasang lukah di Sungai Peusangan. Lukah itu dihanyutkan oleh banjir besar. Setelah diambil dan kemudian isinya direbus, dalam beulangoung beusoe (belanga besi), terdapatlah emas.
Tempat Meurah Silu memasang lukah yaitu di Krueng Meuh yang saat ini berlokasi di atas Awee Geutah, kini menjadi Kecamatan Peusangan Siblah Krueng, Bireuen.
Beuriyeung (Aceh) atau lukah (Melayu) ini juga pernah ditemukan di daerah Geumpang, Pidie, berdasarkan cerita penambang emas pada saya (penulis).
Beuriyeung atau lukah ini dipasang di alur-alur sungai dan dipasang, bulee jouk (bulu ijuk) di dalamnya untuk menjaring biji emas dan sewaktu-waktu diangkat (dipanen).

Bukti otentik tentang tambang emas di Pasai dapat dilihat dari mata uang yang digunakan oleh Kerajaan. Sultan Malikussaleh merupakan raja satu-satunya yang mulai membuat alat tukar dari emas, yang disebut derham emas (Pasaiche gouden munten) yang dikeluarkan oleh Sultan Zainal Abidin Bahian Syah, dan Ratu Buhayah. Saat itu raja-raja di tempat lain mengeluarkan uang dari kulit dan timah.
Sesudah Sultan Malikusaaleh, barulah sultan-sultan lain di Aceh terus menerus membuat alat pertukaran dari emas, yang disebut derham emas (Atjehsche gouden munten). Pembuatan alat tukar tersebut berlangsung hingga akhir kekuasaan Sultanah Syafiatuddin Syah (1641-1675).
Pada masa kekuasaan Sultanah Tajul Alam Syafiatuddin Syah, tambang emas dibangun di Geumpang (Pidie). Di dalam Sungai Geumpang yang berjarak kira-kira 100 kilometer dari Sigli berhasil ditemukan emas urai.
Emas urai tersebut merupakan salah satu komoditas perniagaan Aceh yang sangat maju kala itu. Bahkan karena saking besarnya, VOC menjadi tukang seludup emas urai. Mereka kemudian meminta memonopoli perdagangan emas urai. Tapi ditolak oleh Sultanah.
Aceh Darussalam tetap hanya bersedia berniaga emas dengan mitra lamanya yaitu Inggris, India, Persia, Arab, dan Tionghoa.
Di masa Sultan Djamalul Alam (1711-1733) dibuka tambang emas di Aceh yaitu di Hulu Sungai Meulaboh, tepatnya di Tutut. Semua hasilnya dibawa ke Bandar Aceh untuk selanjutnya diniagakan.
Pada masa Sultan Djohar Alam Syah (1802-1830) pusat perniagaan emas tidak lagi di Bandar Aceh, tapi berpindah ke bandar di Pulau Penang. Penang menjadi pusat niaga emas hingga Aceh diserbu oleh Belanda pada 1873.
Selama peperangan dengan Belanda, penambangan emas dihentikan. Seluruh rakyat mengambil peran dalam perang fisabilillah. Rakyat sibuk bergerilya dari rimba ke rimba. Pemerintah Belanda tidak berani mengambil alih tambang, karena rimba dikuasai oleh pasukan Muslimin.
Pada tahun 1938 Masehi, Belanda mulai menambang emas di Aceh. Mereka memulainya di Meulaboh. Emas di Tutut ditambang oleh Maatschappy Masmarsman hingga Jepang masuk. Pada tahun 1945, ketika revolusi Republik Indonesia menggelora, perusahaan tambang itu berhenti.
Sumber utama saduran: Tarich Atjeh dan Nusantara, H.M. Zainuddin.
Discussion about this post