Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Global
  • Politik
    • Nasional
    • Regional
    • Daerah
  • Ekonomi
  • Opini
  • Sejarah
  • Oase
  • Liputan Khusus
No Result
View All Result
Strategis dan Mencerahkan!
No Result
View All Result
Home Opini

Boh Gaca: Warisan Inai dalam Budaya Tradisi Perkawinan dan Penolak Bala di Aceh 

TINJAUAN ID by TINJAUAN ID
August 3, 2025
Reading Time: 3 mins read
0
Boh Gaca: Warisan Inai dalam Budaya Tradisi Perkawinan dan Penolak Bala di Aceh 

Sumber foto: Wisata Aceh

Dari pengaruh budaya India dan Arab hingga mitos tolak bala, tradisi boh gaca terus hidup dalam denyut budaya masyarakat Aceh. 

Oleh: Sayid Muchsin 

Di balik merah merona jemari pengantin perempuan Aceh, tersimpan jejak peradaban ribuan tahun. Di tanah Rencong, pewarna kuku bukan hanya soal kecantikan, tapi juga makna dan keyakinan.

Boh gaca; tradisi menghias tangan dengan inai, bukan sekadar perias tubuh, melainkan simbol doa, harapan, dan perlindungan. Dari pengaruh budaya India dan Arab hingga mitos tolak bala, tradisi boh gaca terus hidup dalam denyut budaya masyarakat Aceh.

Aceh bukan sekadar wilayah di ujung barat Indonesia. Letaknya yang strategis di utara Pulau Sumatera menjadikannya simpul penting dalam jalur pelayaran internasional.

Di utara berbatasan dengan Teluk Benggala dan Laut Andaman, di barat dengan Samudera Hindia, di timur dengan Selat Malaka, dan di selatan dengan Sumatera Utara.

Sejak masa lalu, Aceh menjadi pintu masuk berbagai pengaruh budaya—mulai dari India, Arab, Tiongkok, hingga Eropa.

Bahkan sebelum menjadi bagian dari Indonesia, Aceh telah berdiri sebagai Kesultanan Islam yang berdaulat. Sebagai penerus Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Aceh Darussalam mencapai masa keemasannya pada abad ke-16 hingga ke-17, dengan kekuatan militer, kecemerlangan ilmu pengetahuan, serta kemakmuran hasil alam, terutama rempah-rempah.

Perkawinan: Perpaduan Tradisi Islam dan India 

Adat perkawinan di Aceh mencerminkan dua pengaruh besar: tradisi keislaman dan tradisi India. Pengaruh Islam sangat kuat, sejalan dengan falsafah hidup masyarakat Aceh: “Adat ngon hukom lagee zat ngon sifeut”—adat dan hukum Islam ibarat zat dan sifat yang menyatu.

Dalam adat perkawinan, terdapat tahapan penting seperti jak keumalôn (mencari tahu latar belakang calon mempelai perempuan), jak ba ranub (melamar secara resmi melalui musyawarah adat), hingga jak ba tanda (tunangan dan penetapan hari pernikahan). Setiap tahap sarat nilai kekeluargaan dan kearifan lokal.

Namun, di balik kuatnya corak Islam, tradisi India juga memberi warna. Pengaruh ini tidak terlepas dari kedekatan geografis Aceh dengan anak benua India.

Selain itu, kehadiran diaspora India yang telah lama menetap di Aceh turut memperkaya ragam budayanya. Dua unsur khas dari pengaruh ini adalah peusijuk (tepung tawar sebagai simbol doa) dan boh gaca—tradisi menghias tangan dengan inai atau pacar.

Boh gaca dalam adat Aceh bukan sekadar hiasan. Ia adalah bagian sakral dari prosesi pernikahan. Calon pengantin perempuan akan diberi inai di tangan dan kuku. Sebelum itu, ia terlebih dahulu di-peusijuk dan didoakan oleh orang tua serta tokoh adat.

Warna merah dari inai melambangkan kebahagiaan, keberkahan, dan perlindungan spiritual.

Proses pemakaian biasanya dilakukan selama tiga malam berturut-turut, karena angka ganjil diyakini membawa keberuntungan. Semakin merah warna inai, semakin besar pula harapan akan rumah tangga yang penuh kebahagiaan.

Konon, tradisi ini telah berusia ribuan tahun. Sebagian orang tua Aceh meyakini bahwa yang pertama kali memakai inai adalah Siti Sarah, istri Nabi Ibrahim AS. Dalam budaya Arab, India, dan Mesir, pemakaian inai juga menjadi bagian dari penyambutan hari besar keagamaan atau peristiwa penting.

Dalam Islam sendiri, pemakaian inai oleh perempuan tidak hanya dibolehkan, tetapi juga dianjurkan. Rasulullah SAW bersabda:

“Jika kamu seorang wanita, seharusnya kamu ubah kukumu dengan henna.”

(HR. Nasai dan Abu Daud)

Hadis ini menunjukkan bahwa pemakaian inai bukan hanya dibenarkan, tetapi juga merupakan bagian dari syiar keindahan dan kerapian dalam Islam.

Tradisi Sejenis di Nusantara 

Tradisi menghias tangan dengan inai ternyata tidak eksklusif milik Aceh. Di berbagai penjuru Nusantara, praktik serupa hidup dan berkembang dengan istilah serta kekhasan masing-masing:

• Bainai di Minangkabau

• Mapacci di Bugis, Sulawesi Selatan

• Berinnai di Riau

• Berpacar di Palembang

• Malem Pacar di Betawi

• Pasang Pacar di Lampung

Meskipun berbeda nama dan tata cara, seluruh tradisi ini memiliki fungsi serupa: sebagai simbol kecantikan, restu, dan perlindungan menjelang pernikahan.

Kesamaan ini memperlihatkan betapa kuatnya pengaruh budaya India dan Islam dalam membentuk wajah budaya pernikahan di Nusantara.

Yang menarik, tradisi boh gaca di Aceh tidak hanya terkait dengan pernikahan. Di beberapa daerah, inai juga digunakan sebagai ritual tolak bala, terutama saat muncul wabah seperti Tha’un atau penyakit menular lainnya.

Dalam konteks ini, inai hanya digunakan pada tiga jari—ibu jari, jari tengah (raja), dan kelingking. Tidak hanya perempuan, laki-laki dari berbagai usia juga ikut melakukannya. Tradisi ini diyakini sebagai bentuk perlindungan spiritual, penolak bala, dan ikhtiar menjaga keselamatan keluarga.

Di tengah arus modernitas dan tren global, tradisi boh gaca tetap bertahan. Namun, tantangannya semakin besar. Kini, penggunaan henna dalam pernikahan kadang lebih bersifat kosmetik daripada spiritual. Pewarna sintetis pun mulai menggantikan daun pacar alami.

Meski demikian, banyak keluarga dan komunitas adat yang masih menjaga makna aslinya. Upacara peusijuk, pemilihan malam ganjil, serta doa-doa adat tetap dilestarikan—terutama di perdesaan dan keluarga yang menjunjung tinggi adat istiadat.

Boh gaca bukan hanya pewarna kuku. Ia adalah simbol cinta, harapan, restu, dan perlindungan. Boh gaca mengisahkan cerita tentang perjalanan budaya dari India dan Timur Tengah ke tanah Rencong, lalu menyatu dalam tradisi adat Aceh.

Selama masih ada yang mengoleskan inai di tangan anak gadis menjelang akad nikah, selama itu pula warisan budaya ini tetap hidup, tak hanya di tangan, tapi juga di hati orang Aceh.

Continue Reading
ShareTweetSendShare

Related Posts

“Saya bukan kombatan”, Catatan Risman Semasa Konflik Aceh
Opini

“Saya bukan kombatan”, Catatan Risman Semasa Konflik Aceh

August 8, 2025
Ketika Opini “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah” Memasuki Wilayah Kebenaran Baru
Opini

Ketika Opini “Masih Adakah Ulama Alumni Dayah” Memasuki Wilayah Kebenaran Baru

August 5, 2025
Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis
Opini

Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

August 4, 2025
Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan
Oase

Identitas Muslim yang Hilang: Ketika Umat Lebih Tertunduk daripada Menundukkan

August 1, 2025
Konflik Thailand-Kamboja, Mediasi, dan Skenario Kedua Negara
Opini

Konflik Thailand-Kamboja, Mediasi, dan Skenario Kedua Negara

July 30, 2025
Polemik Musda Golkar Aceh, Antara Kader Murni dan Putusan Diskresi
Opini

Polemik Musda Golkar Aceh, Antara Kader Murni dan Putusan Diskresi

July 28, 2025
Next Post
Pengibaran bendera merah putih pertama di Aceh dalam Tahun 1945

Pengibaran Bendera Merah Putih Pertama di Aceh dalam Tahun 1945

Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

Discussion about this post

Recommended Stories

STTIT Gelar Seminar Nasional 2025: Bangun Generasi Inovatif di Era Digital

STTIT Gelar Seminar Nasional 2025: Bangun Generasi Inovatif di Era Digital

August 8, 2025
Perusahaan Karet Hashim Djojohadikusumo Diresmikan di Aceh Barat, Nilai Investasi Capai 600 Miliar

Perusahaan Karet Hashim Djojohadikusumo Diresmikan di Aceh Barat, Nilai Investasi Capai 600 Miliar

July 10, 2025
BPMA LMAN Tindak Lanjut Arahan Gubernur Aceh atas Alih Kelola Aset KEK Arun Lhokseumawe

BPMA-LMAN Tindak Lanjut Arahan Gubernur Aceh atas Alih Kelola Aset KEK Arun Lhokseumawe

July 28, 2025

Popular Stories

  • Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    Kritik Kosong tentang Ulama Dayah Adalah Opini yang Tak Perlu Ditulis

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tak Kunjung Dapat Kerja di Aceh, Hendra Nekat Merantau ke Australia

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tanah Wakaf Tidak Boleh Dikuasai Negara (Suara dari Blang Padang untuk Keadilan Syariat)

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Kedai Kopi Pertama di Aceh: Antara Pengaruh Ottoman dan Budaya Perantauan Tionghoa

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Fraksi Partai Demokrat Soroti Tantangan Pembangunan Aceh dalam Pendapat Akhir atas Pertanggungjawaban APBA 2024

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Redaksi
  • Tentang Kami
  • TINJAUAN.ID
  • Pedoman Media Siber
Email: redaksi.tinjauan@gmail.com

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

No Result
View All Result
  • TINJAUAN.ID
  • News
  • Dunia
  • Nasional
  • Regional
  • Politik
  • Opini
  • Contact Us

© 2025 Tinjauan.ID - Strategis dan Mencerahkan!

Are you sure want to unlock this post?
Unlock left : 0
Are you sure want to cancel subscription?