Konsep “massa mengambang” (floating mass) merupakan salah satu gagasan politik utama Orde Baru yang sangat dipengaruhi oleh pemikiran Ali Moertopo.
Ali Moertopo (1924–1984) adalah salah satu tokoh kunci dalam perumusan dan pelaksanaan strategi politik Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Ia dikenal sebagai penasihat politik utama Soeharto, perancang Operasi Khusus (Opsus), dan figur penting di balik pembentukan Golongan Karya (Golkar) sebagai kekuatan politik dominan pasca-1966.
Ali Moertopo memiliki peran strategis dalam mengonstruksi basis legitimasi politik Orde Baru, yaitu dengan membangun citra stabilitas, keamanan, dan pembangunan ekonomi sebagai nilai utama negara. Dalam pandangan Ali Moertopo, politik harus diarahkan untuk mendukung pembangunan, bukan sebaliknya.
Dalam masa transisi, kekuatan Orde Baru berusaha keras mencegah jangan sampai Soekarno menggunakan kharismanya untuk menggerakkan rakyat.
“Dari mulai PNI-ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) sampai kepala kekuatan ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia) yang Soekarnois, akan terpaut ke Bung Karno kalau beliau menggunakan pengaruhnya sebagai Penyambung Lidah Rakyat. Sebab itu, kami preteli semua unsur itu, tanpa menghancurkan, guna memelihara keseimbangan,” kata Jenderal Soemitro.
“Demikian pula kalau ada rapat golongan Islam (Parmusi), atau PNI, atau yang lain-lainnya. Itu semua urusan Ali,” lanjut Soemitro. “Pokoknya, yang masih berbau Nasakom, kita rombak semuanya. Dan Ali melaksanakan tugasnya dengan baik. Ini yang kami sebut sebagai perekayasaan dari atas.”
Menurut Soemitro, yang dianggap rival Ali Moertopo, sebagai kepala Operasi Khusus (Opsus), Ali bertugas menyelesaikan hal-hal dengan mendobrak dan merekayasa sifatnya dalam waktu cepat. Opsus mulanya sebagai operasi intelijen di bawah pimpinan Pangkostrad Mayjen TNI Soeharto dalam upaya penyelesaian konfrontasi dengan Malaysia. Opsus kemudian melembaga dan menjalankan operasi intelijen, baik dalam militer maupun politik.
Menurut Ikrar Nusa Bhakti dalam Tentara Mendamba Mitra, menjelang Pemilu 1971 operasi penggalangan Ali Moertopo memainkan peranan menonjol. “Dia mengorganisasi serangkaian serangan operasi intelijen politik melalui gerakan-gerakan bawah tanah yang bertujuan memperlemah partai politik dan organisasi profesi dan di lain pihak memperkuat Sekber Golkar.”
Pelaksanaan Opsus biasanya dengan jalan mengintervensi rapat-rapat atau musyawarah partai dan kemudian memanipulasi konvensi-konvensi partai untuk menciptakan krisis kepemimpinan. Pada gilirannya, pemerintah berkesempatan mendorong kepemimpinan yang akomodatif dengan pemerintah.
Opsus juga menjamin kelompok-kelompok yang mungkin dapat mengobarkan permusuhan tidak memegang kendali organisasi yang masih dapat menghimpun dukungan besar.
Lima tahun setelah Masyumi dibubarkan pada 1960, sejumlah mantan pimpinan Masyumi dan ormas pendukungnya menginginkan terbentuknya kembali wadah politik yang dapat menampung aspirasi politik simpatisan Masyumi.
Pada 20 Februari 1968 didirikan Parmusi (Partai Muslimin Indonesia) dengan Ketua Umum Djarnawi Hadikusumo dan Sekretaris Jenderal Lukman Harun.
Dalam kongres pertama di Malang pada 1969, tokoh-tokoh Masyumi yang ingin menjadikan Parmusi sebagai reinkarnasi Masyumi mendorong Mohamad Roem. Mantan pimpinan teras Masyumi ini terpilih sebagai ketua umum secara aklamasi. Pemerintah tidak merestuinya. Pimpinan Parmusi kembali dipegang Djarnawi dan Lukman.
“Pemerintah melalui Opsus memporak-porandakan susunan personalia pengurus guna mendapatkan pemimpin yang pro pemerintah,” tulis Ikrar Nusa Bakti.
Upaya itu dimulai dengan menciptakan kekisruhan yang diciptakan oleh Djailani Naro, mantan jaksa, yang membentuk badan eksekutif tandingan pada 17 Oktober 1970. Kemelut itu diselesaikan dengan memunculkan pemimpin baru yang pro pemerintah, yaitu H.M.S. Mintaredja sebagai ketua umum.
Penggarapan terhadap partai politik tersebut bertujuan untuk memuluskan proses restrukturisasi atau penyederhanaan partai. Pada Mei 1971, sebelum Pemilu, Ali Moertopo dalam konferensi pers menyatakan bahwa akan ada restrukturisasi partai politik. Dia berpendapat, restrukturisasi tidak harus dilakukan melalui pembubaran partai politik.
Akan tetapi, kondisi yang memungkinkan bagi restrukturisasi akan terjadi setelah kemenangan Golkar.
Pada Pemilu 1971, Golkar memperoleh lebih dari 62,8 persen suara, mengalahkan sembilan partai politik lainnya. Yang mampu bertahan adalah Nahdlatul Ulama (NU) yang memperoleh kurang lebih 18,7 persen suara. Sementara PNI dan Masyumi yang telah “digarap” oleh Opsus Ali Moertopo, masing-masing mendulang 6,9 persen dan 5,3 persen suara.
Pada Januari 1973, pemerintah mengelompokkan sembilan partai politik menjadi dua partai baru, yaitu Partai Persatuan Pembangunan (PPP) terdiri dari NU, Parmusi, PSII, dan Perti (Persatuan Tarbiyah Islam Indonesia).
Partai Demokrasi Indonesia (PDI) terdiri dari antara lain PNI, Murba, Partai Kristen Indonesia, IPKI (Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia), dan Partai Katolik. Sejak saat itu hingga Reformasi ada tiga partai: PPP, Golkar (yang semula bernama Sekber Golkar), dan PDI.
Konflik Kepentingan
Bukan hanya merekayasa konflik politik partai, Opsus yang identik dengan Ali pun kerap kali bergesekan dengan tokoh-tokoh lain. Rivalitas Ali dengan Soemitro, yang bermuara pada peristiwa Malari 1974 satu dari sekian contoh cara Ali berpolitik dengan menggunakan Opsus sebagai kendaraan.
Tak hanya di dalam ABRI, Opsus Ali Moertopo juga turut mengobok-obok Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Dalam Kongres PWI di Palembang pada 1970, Rosihan Anwar terpilih menjadi ketua umum dan Jakob Oetama sebagai sekretaris jenderal.
Dia mengalahkan B.M. Diah dan Manai Sophiaan. Tapi pemerintah tak merestui. Menteri Penerangan Boediardjo lebih mengakui Diah dan Manai. PWI pun terbelah.
Rosihan melihat keterlibatan Opsus Ali Moertopo di belakang pencalonan Diah. Opsus selalu mencampuri urusan internal organisasi politik dan organisasi masyarakat dengan tujuan memasukkan orang-orang yang diandalkan pemerintah.
Perpecahan PWI ini berimbas juga ke cabang-cabang. Polemik hebat juga terjadi di kalangan media cetak nasional. Media massa yang dikontrol pemerintah di Jakarta tidak menyiarkan semua berita mengenai pengurus Rosihan Anwar.
Politik Massa Mengambang
Bila pada masa Soekarno politik “dilantik” jadi panglima, semasa Orde Baru, kecuali dalam Pemilu, masyarakat dipisahkan dari kehidupan politik formal.
Demi stabilitas dan pembangunan, konsep “massa mengambang” yang digaungkan Ali Moertopo diadopsi oleh pemerintah Orde Baru. Karena Orde Baru mendapuk ekonomi jadi panglima.
Menurut Crouch (1979), Ali Moertopo melihat politik sebagai sarana teknokratis untuk mendukung pembangunan ekonomi, sehingga perdebatan ideologis dianggap menghambat stabilitas nasional (Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 1979).
Ali Moertopo juga dikenal lewat pemikirannya tentang “politik pembangunan”, yang menolak politik sebagai arena konflik kepentingan dan menggantinya dengan politik sebagai instrumen stabilitas dan kemajuan ekonomi.
Seperti dijelaskan dalam karya Ali Moertopo sendiri, Strategi Pembangunan Nasional (1973), ia menekankan bahwa stabilitas politik adalah “syarat utama pembangunan”, dan karena itu, sistem politik harus diarahkan agar tidak menimbulkan perpecahan sosial.
Menurut politisi Partai Golkar dan mantan peneliti Center for Strategic and International Studies (CSIS) Indra J. Piliang, floating mass adalah masyarakat yang sama sekali tidak mengaitkan diri dengan partai politik. Hanya sebagian kecil saja masyarakat yang merasa bagian dari partai politik, sisanya adalah massa mengambang.
“Konsep massa mengambang itu terkait dengan tidak dijadikannya politik sebagai panglima. Yang dikedepankan adalah pembangunan,” kata Indra.
Massa mengambang (floating mass) membuat masyarakat tidak terikat secara permanen dengan partai politik. Konsep tersebut diberlakukan pada 1975 dengan keluarnya UU No. 3/1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Peraturan itu membatasi kegiatan politik masyarakat dengan cara membatasi aktivitas dan kepengurusan partai politik hanya sampai tingkat kabupaten. Itu artinya masyarakat bawah tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam politik. Keterlibatan mereka dalam politik hanya terjadi sekali dalam lima tahun, yaitu ketika pemilihan umum.
Menurut Krissantono dalam tulisannya tentang profil Ali Moertopo di Prisma edisi khusus 20 tahun 1971-1991, tujuan konsep “massa mengambang” Ali Moertopo agar rakyat terbebaskan dari kegiatan politik praktis, yang telah merusak kehidupan ekonomi (kesejahteraan) rakyat karena rakyat terlibat dalam pengaruh ideologi sempit partai-partai politik.
Dikutip dari buku Ali Moertopo terbitan Historia dan berbagai sumber.
Discussion about this post